Sungguh melimpah ruah karunia dan nikmat dari Allah subhaanahu
wa ta’aalaa bagi manusia, baik nikmat lahir maupun batin, yang agung
hingga yang paling kecil. Meskipun demikian, nikmat tidak selamanya akan
menghantarkan kepada nikmat berikutnya, tak selamanya pula akan melanggengkan
eksistensinya pada diri seorang insan, semua itu terpulang kepada manusia dalam
merespon nikmat tersebut. Boleh jadi dengan nikmat itu ia akan meraih nikmat
berikutnya, dan boleh jadi pula justru nikmat tersebut akan membawa kepada dosa
dan nista yang berujung sengsara. Na’udzubillahi min dzalik.
Penting untuk diingat bahwa setiap nikmat itu pasti akan
dimintai pertanggung jawabannya dihadapan Allah subhaanahu wa ta’aalaa
pada hari akhirat kelak. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
“Kemudian sungguh kalian benar-benar akan
ditanyai pada hari itu (kiamat) tentang nikmat-nikmat.” (At-Takatsur:
8)
Pembaca yang mulia, penting untuk diingat pula bahwa
sejatinya nikmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa ialah nikmat yang bisa
menambah kedekatan dan ketakwaan seorang insan kepada Rabb-nya. Al-Imam Abu
Hazim Salamah bin Dinar menyatakan, “Setiap
nikmat yang tidak menambah kedekatan kepada Allah berarti petaka (bukan
nikmat).” (Hilyatul Auliya` 3/320)
Mari kita mencermati sekaligus introspeksi diri
terhadap nikmat-nikmat Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang
dikaruniakan kepada kita. Tak pernah mampu rasanya menghitung dan menyebut
seluruh nikmat yang telah digelar untuk hamba-hamba-Nya, oleh karenanya akan
disinggung dalam bahasan kali ini salah satu nikmat saja, insya Allah, yaitu
nikmat mata atau indra penglihat. Betapa agungnya nikmat penglihatan tersebut
sehingga terulang sekian kali penyebutannya di dalam Al-Qur’an, di antaranya
yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa tegaskan:
“Bukankah Kami telah
menjadikan untuk manusia sepasang mata.” (Al-Balad: 8)
Kemudian
Allah subhaanahu wa ta’aalaa menegaskan kembali fungsi organ tubuh
tersebut dalam ayat lainnya:
“Sesungguhnya kami ciptakan manusia
dari setetes air mani yang bercampur (lalu) Kami hendak mengujinya (dengan
perintah dan larangan) maka Kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya
Kami telah memberi petunjuk jalan yang benar kepadanya, lalu ada yang bersyukur
dan ada pula yang kafir.” (Al-Insan: 2-3)
Fungsi dan posisi mata pada ayat tersebut adalah sebagai alat
bantu bagi manusia untuk melihat dan meraih hidayah kepada jalan yang lurus,
yaitu dengan memahami perintah dan larangan Allah subhaanahu wa ta’aalaa
dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bentuk syukur
seorang hamba kepada Rabb-nya. Namun terlampau banyak didapati manusia dalam
kondisi ingkar lagi kafir terhadap perintah-perintah-Nya.
Seiring berkembangnya zaman, kita bisa menilik kiprah manusia
dewasa ini perihal indra penglihatnya, luar biasa manusia belomba-lomba baik
sisi kosmetik maupun fungsional. Mulai dari meriasnya dengan celak mata,
memakai lensa mata, kacamata, berbagai terapi herbal, medis, dan sebagainya.
Urgensi nikmat penglihatan bagi manusia telah dimengerti dan
dirasakan manfaatnya. Namun sebuah tanda tanya besar perlu mendapat
jawaban dari kita semua, “Apakah manusia juga mengetahui urgensi perintah Allah
subhaanahu wa ta’aalaa untuk menjaga hak mata dalam Islam? Apakah
manusia tahu bahwa dirinya akan dimintai pertanggung jawaban terhadap segala
yang dilihat oleh matanya? Apakah manusia tahu pula bahwa matanya akan berbicara
sebagai saksi di hadapan Allah subhaanahu wa ta’aalaa atas
perbuatannya?” Nas`alullaha as salamah (kita semua memohon
keselamatan kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa).
Pembaca yang budiman, di antara bentuk rahmat dan kasih
sayang Allah subhaanahu wa ta’aalaa terhadap hamba-hamba-Nya adalah
perintah Allah subhaanahu wa ta’aalaa bagi orang-orang yang beriman
agar menjaga pandangan dan tidak mengumbarnya kepada yang haram sebagai
tindakan preventif demi tidak terperosok ke dalam lembah dosa lantaran indra
penglihatnya. Oleh karenanya Allah subhaanahu wa ta’aalaa menegaskan
dalam salah satu firman-Nya:
“Katakanlah kepada
laki-laki yang beriman hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan
menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah mengetahui segala yang mereka kerjakan. Katakanlah kepada wanita yang
beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan
mereka…” (An-Nur: 30-31)
Manusia terlalu mudah menumpuk-numpuk dosa dengan pandangan
matanya, tidak menyadari kalau dirinya terjatuh dalam kemaksiatan yang
menghantarkan kepada dosa-dosa yang lainnya, ia tiada membayangkan andai
penglihatannya tiba-tiba raib lalu ia menyandang predikat tuna netra, kemudian
menyesal atas perbuatannya dan tersadar ternyata banyak perbuatan dosa yang tak
bisa diperbuat orang buta.
Hampir tidak didapati seorang yang ingin menjadi tuna netra,
bahkan mungkin terlalu banyak orang buta yang berharap bisa melihat indahnya
dunia ini, mungkin pula di antara mereka berangan-angan dapat melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah subhaanahu wa ta’aalaa di alam ini, namun
ironisnya, masih banyak manusia yang sempurna penciptaannya tiada mensyukuri
anugerah besar ini.
Pembaca, penting untuk direnungi sejenak bahwa setiap
perbuatan dosa pasti akan membekas berupa noda hitam di hati manusia, semakin
bertambah dosa bertambah pula noda-noda hitam itu sampai menutupi rona dan
warna hatinya. Tatkala hati telah tertutup noda hitam maka tiada mampu lagi
mengenali kebaikan dan tiada pula mengingkari kemungkaran, jadilah hati itu
keras lagi sulit menerima nasihat serta kebaikan.
Pandangan mata kepada yang haram adalah faktor penyebab
rusaknya hati, faktor pendorong berbagai perbuatan dosa dan keji seperti
zina, mencuri, membunuh dan berbagai aksi kejahatan lainnya, sebagaimana ucapan
ulama salaf (terdahulu), “Pandangan mata
adalah panah beracun bagi hati manusia.”
Indra penglihat melesat bak anak panah yang lepas dari
busurnya, sinar matanya secepat kilat menyambar pemandangan yang haram, melesat
ke segala arah, menembus sasaran haram tanpa hambatan, menancap kuat menjadi
luka dosa pada hatinya. mata yang jahat tidak pernah puas mengoleksi pandangan
haram, menumpuk variasi dosa pada hatinya, karena setan selalu memoles
pemandangan haram dengan berbagai hiasan yang mempesona lagi menggiurkan.
Tidak ada seorang pun mampu berpura-pura di hadapan Allah subhaanahu
wa ta’aalaa, sekalipun ia pandai mengelabui manusia, sekalipun hanya
sekedar mengerlingkan bola matanya atau melirik kepada yang haram.
“Dan Dia Maha mengetahui terhadap pandangan
yang berkhianat (melihat kepada yang haram) dan segala yang disembunyikan dalam
hati manusia.” (Ghafir: 19)
Adapun memandang kepada yang haram tanpa sengaja tidaklah
teranggap sebagai dosa selama ia segera memalingkannya ke arah lain,
sebagaimana dalam hadits:
عَنْ جَرِيرِ
بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ
Dari
sahabat Jarir bin Abdillah al-Bajali beliau berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah tentang (hukum) melihat (kepada yang haram)
secara tiba-tiba, maka beliau memerintahkan agar aku memalingkan pandanganku.”
(HR. Muslim)
Selain tidak boleh ada unsur kesengajaan, juga tidak boleh
menetapi pandangan haram secara terus menerus serta mengikutinya, sebagaimana
dalam hadits lain:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَلِيٍّ: يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ،
فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Wahai Ali, jangan kau ikuti pandangan
pertama (kepada yang haram) dengan pandangan berikutnya! Karena yang pertama
(tidak berdosa) bagimu dan yang kedua bukan untukmu (berdosa)”. (HR. Abu
Dawud, dihasankan oleh at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh al-Hakim)
Pembaca yang mulia, bukan hal yang mudah menjaga pandangan di
masa sekarang ini, butuh perjuangan, tekad yang kuat, dan meningkatkan
kewaspadaan untuk membentengi diri dan keluarga kita. Betapa tidak, musuh-musuh
Islam menggelar dagangan kemaksiatan dengan harga menggiurkan, akses-akses
haram dijajakan bak obralan berdiskon besar, mulai dari pakaian bermodis orang
kafir, reklame-reklame bergambar yang menyeru kepada kekejian semakin
menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya. Perang urat saraf untuk merusak
moral dan mental semakin berkecamuk, musuh-musuh Islam membidik kaum muslimin
dengan panah-panah hawa nafsu, membabat jiwa-jiwa mereka dengan pedang-pedang
kemaksiatan sementara kita tiada menyadarinya?! Karena barangsiapa yang tidak
bisa menjaga matanya, maka ia tidak akan bisa menjaga pendengarannya. Padahal
kedua indra tersebut merupakan dua jalur yang sangat penting bagi hidayah untuk
bisa masuk pada diri seseorang.
Mengumbar pandangan adalah dosa yang banyak diremehkan Bani
Adam, mereka banyak mengonsumsi dosa ini baik secara langsung maupun melalu
media baca, HP, televisi, internet, dan lain-lain. Angka kejahatan melejit tak
tertahan, kemerosotan akhlak, mental dan moral terjadi di segala usia,
persentase terbesar adalah indra penglihat sebagai biangnya!
Menundukkan pandangan dan tidak mengumbarnya adalah solusi
untuk terhindar dari berbagai syahwat kemaksiatan, berat dan besarnya amalan
tersebut berbanding dengan berat dan besarnya pahala di sisi Allah subhaanahu
wa ta’aalaa bagi yang ikhlas dalam amalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar